I Binor

Buah Pikiran
Dyah Manik Bengkel
Di Hutan Bengkel..

Keindahan Hutan Bengkel, begitu memesona. Keasrian hutan membuat para binatang hidup dengan tenang. Dyah Manik Bengkel berhasil membuat setiap yang memasuki hutan, berdetak akan keindahan hutan. 

Ni Sujang
Ni Semalang
Pagi ini, Dyah Manik Bengkel duduk termenung dalam kesendiriannya. Halauan kepak burung kenari tidak juga mengedipkan
kelopak Sang Nata.






Perjalanan dingin menjauh akibat halauan matahari di dalam sinar kulitnya yang semakin keriput hanya mampu menggoyahkan tangan yang lain untuk mengusap. Kewibaan masih terasa di rona sendu, sesekali seperti mengangguk, berbicara dengan seseorang. Begitu dihormati oleh para penghuni hutan, bahkan para penghuni tak kasat mata memilih segan. Parau suara tiba-tiba terdengar, “Ni Sujang, tolong panggilkan adikmu…”

Seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan. Tatapan mata sendu masih tak bergeming, namun anggukan sudah tenang seperti teman yang tidak tidak ada lagi. 

“sembah sujud ku buat Ibu,,,” Ni Semalang menatap sekelompok debu di atas tanah yang masih tertidur dengan tenang. Sudah lama mereka menjaga hutan bengkel. Keindahan hutan, sejuk hinggap di kulit menandakan indah yang sesungguhnya. Jagalah hutan dengan baik, bukan saat berhasil membuat indah menjadi tujuannya. Bekerja dengan baik, memberikan hasilnya kepada alam, itu adalah kerja yang sesungguhnya, kebahagiaan yang diinginkan. Nampak senyum sang nata membalikkan tubuh tuanya,, “kita berjalan..”


Di Peguyangan

Jro Bendesa Gading Wani

Kehidupan masyarakat peguyangan begitu tenteram. Jro Bendesa Gading Wani mengatur kehidupan masyarakatnya dengan beijaksana. Ajaran agama dengan perpaduan budaya dan sastra beliau pelajari layaknya sarapan yang harus diselesaikan. Ada saling hormat-menghormati. Menjadi contoh di masyarakat, berdiri di tepi terdepan adalah sesuatu yang sulit untuk dipertahankan. Laksanakan dengan rasa syukur bakti pada sang alam, mampu berjalan dengan baik kerta raharja. 









Keinginan Jro Bendesa untuk sedikit melebarkan wilayah Peguyangan sempat dilontarkan pada kedua abdi. Jro Bendesa ingin Peguyangan “jimbar”, luar dan tenteram berdampingan satu dengan lain. “..kita menuju ke tepi sisi selatan..”







Kenapa Merusak..?

Ida Sasuhunan
Tepi selatan hutan telah diratakan, proses men-jimbar-kan peguyangan telah dimulai. Keinginan agar masyarakat bisa hidup layak, leluasa dan sejahtera, tidak yang lain.  Dua wanita cantik bersedih melihat alam sedang diperlakukan dengan tidak layak. Keindahan alam tidak seharusnya menjadi korban akibat dari kesejahteraan manusia. Manusia harus bisa menghormati alam, seperti terlantunkan nilai penyebab kebahagiaan. Kekecewaannya mulai dirasakan, dia yang telah menjaga hutan dengan segenap hatinya, merasa terhinakan dengan yang ia lihat kali ini.  


Ni Sumalang mempertanyakan tujuan Jro Bendesa Gading Wani merusak hutan. Namun, justru ada keributan dalam adu pendapat mereka. Ni Sumalang, “bolehkan aku marah kali ini…?”

Dyah Manik Bengkel tersenyum mendengar cerita Ni Sujang. Angin bertiup, sepertinya ada begitu banyak yang datang. Senyum dari wajah tua itu masih Nampak, namun kali ini, seperti mengerikan. “Jika ini yang diinginkan Bendesa Gading Wani, biarkan dia bekerja sesuai dengan keinginannya“


Ngeruak..?

I Binor
Lihat, I Binor.. lihat, I Binor..   Warna merah cantik bertengger di daun telinga, kembang sepatu warna merah, menandakan keberanian. Saling tersenyum dengan empat saudara. Lahir di dunia, semestinya tahu, dari mana, kenapa dan kemana. Tetap kukuh dalam kebenaran dengan berpikir, berkata dan berbuat yang baik. 

Entah kenapa, I Binor merasa sendu. Teringat akan pesan yang disampaikan bendesa gading wani di Peguyangan memohonkan bantuan I Binor. Entah wabah apa yang menimpa masyarakat Peguyangan, banyak yang meninggal tanpa sakit. I Binor paham bahwa hutan itu adalah “pingit”. Apalagi hutan Beng sangat disayang oleh Diah Manik Bengkel. Kesedihan biarkan berlalu, apa yang telah terjadi dicarikan penyelesaian. Ada sikap-sikap seorang kesatria, berani menghadapi musuh, berdiri di depan dan rela berkorban. Persahabatan sejati, adalah ada saat sahabat membutuhkan pertolongan. I Binor melangkahkan kaki menuju hutan Beng.


Ida Sasuhunan
Hutan Beng, hutan yang indah. Para penghuni hutan bernyanyi bersama untai dedaunan pohon hutan. Namun ada rasa yang berbeda. I Binor menatap dalam setiap daun yang jatuh. Mencari dimana Dyah Manik Bengkel, untuk dikembalikan menjadi sebagaimana yang seharusnya. Anugrah yang didapat harus digunakan dengan baik pula. 






Kekuatan yang besar bukan sebuah kesewenang-wenangan namun ada  sebuah tanggung jawab yang berat. Energi buruk yang ditebar membuat ia salah dalam bertindak. Sangat patut  ia diingatkan untuk menjadi baik. 

Tari Rejang dalam prosesi "Ngeruak"
Hutan yang tercemar dikembalikan seperti sedia kala. Untuk menghormati “anugrah” alam semesta, dibangunlah “parhyangan” yang dinamakan Pura Dalem Bengkel. 



tengs – keluarga besar pura kahyangan desa pohgading, ubung kaja

Bahula Duta

Buah Pikiran
Ni Walunatneg Dirah
Ni Walunateng Dirah atau Ni Walunateng disebut juga Ni Calonarang, seorang janda dengan kamampuan ilmu pengelakan, sudah terkenal di daerah Dirah. Jangankan manusia, para butha, wong samar, gamang, memedi dan sejenisnya tiada berani menandingi kemampuan pengeleakannya. Hal ini tiada lain karena telah menjadi kesayangan dan mendapat anugrah Dewi Durga. 





Tiada rasa yang lebih dari hari ini. Serasa bunga bermekaran di taman, kembang merekah ikut merasakan gembira hati Ni Walunateng. Daerah Dirah adalah daerah yang tenteram, yadnya, persembahan tulus dihaturkan setiap hari. Alampun memberikan hasil yang bergelimpahan. Pun dengan alam, hati Ni Walu juga seirama. Sang buah hati, kebahagiaan seorang ibu, telah dipinang ke Lembah Tulis. Mpu Bahula telah menjadi menantu Ni Walunateng. Ciri sekarang si buah hati sudah mampu mandiri. Mungkin inilah saat yang telah ditunggu sejak lama. "tolong panggilkan anakku, bibi" demikian Ni Walunateng meminta kepada sisyanya.

Jangan Beritahu Siapapun... 

"Oh, ibu, terimalah sembah sujud hamba. Engkau yang sangat hamba hormati" sembah bakti Ni Diah Ratna Mangali memberikan hormat kepada Ni Walunateng. 

"Anakku, Diah Ratna Mengali, bunga hidup ibu, sembah sujudmu, ibu terima, berbahagialah engkau kebahagiaan ibu". 

Diah Ratna Mangali
Tiada bahagia rasa seorang Ni Walunateng selain melihat senyum ceria sang pelita hati. Ini adalah anugrah terindah dari sang pemilik semesta. Ni Walunateng menceritakan tentang kebahagiaan yang ia rasakan kepada anaknya. Ia bercerita juga tentang bagaimana menjadi istri yang baik, agar rumah tangga menjadi rukun. Purana-Purana, Dharma Sastra, Ithiasa, kisah-kisah dalam Ramayana dan Mahabharata jadikan pedoman, bagaimana bertingkah menjadi putra yang suputra. 

Segala yang ada di dalam hati telah tersampaikan. Namun ada satu.. Satu lagi yang harus diberitahu. Hal ini tentang kehidupan dan kematian. 

Ni Walunateng akan ke Kahyangan Dalem untuk melaksanakan Dhurga Sraya, menghaturkan puja yadnya kepada Dewi Durga. Untuk itu, dititipkanlah dua pusaka, dan jangan beritau siapapun.. 

Duta, Adalah Utusan... 

Lahir hidup mati, Uppeti, Stiti, Pralina... Ilmu pengelakan adalah Rwa Bhineda, dua hal yang harus ada. Di hari kajeng kliwon, seseorang membawa daksina, 17 ribu uang kepeng, canang 11 , tipat duang kelan dan arak berem. Saat tengah malam, berjalanlah ia ke kuburan, tepat di tempat pembakaran mayat, meminta anugerah kepada sang penguasa kuburan. 

Ida Sasuhunan
Sejatinya ilmu pengeleakan adalah ilmu kebebasan karena ilmu inilah yang akan menghantarkan kita menuju Brahma Loka, namun jangan sombong. Leak yang tidak dibenarkan adalah leak yang menyakiti orang tanpa dosa, leak yg penuh dengan kesombongan. Ilmu pengeleakan akan mampu menyakiti asal manusia salah. Itu untuk memberitahu bahwa ia telah salah. Kesombongan seseorang akan ilmu pengelakannya akan menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan yang sangat. 

Demikian sambil menunggu kedatangan sang putra, Mpu Baradah bercerita pada dua orang abdinya. 

Diah Ratna Mangali dan Mpu Bahula
Setelah memberi restu kepada Mpu Bahula, Mpu Baradah mengingatkan akan tugas, Mpu Bahula adalah seorang duta. Tujuannya adalah mendapatkan pusaka Ni Calonarang, Nircaya Lingga dan Niscaya Lingga. Dalam melaksanakan tugasnya, Mpu Bahula telah menikah dengan putri Ni Calonarang, Diah Ratna Mangali. Tentu hal ini akan memuluskan tugas untuk mendapatkan pusaka. Namun apa daya, hingga sekarang belum juga diketahui dimana pusaka itu tersimpan. 

"bertemunya sasih desta dengan sasih sada, adalah waktu yang sangat tepat…" demikian Mpu Baradah berpetunjuk. 

Ini Adalah Penistaan, Buatlah Penyakit.. 

Dalam penantiannya, Mpu Bahula berbincang dengan Ratna Mangali tentang kehidupan dan kematian serta tujuan dari hidup dan mati. Ratna Mangali tanpa tersadar, telah memberitau tentang pusaka ibunya yang harus dirahasiakan. Segera saja Mpu Bahula ingin melihat seperti apa pusaka kehidupan dan kematian. Beralaskan cinta dan bakti pada suami, Diah Ratna Mangali memperlihatkan pusaka Nircaya Lingga dan Niscala Lingga. Namun, mpu bahula adalah seorang duta, mengemban tugas untuk mendapatkan pusaka Ni Calonarang, Nircaya Lingga pun berpindah tangan. 

Sisya Ngereh, Buatlah Gerubug

Sekembalinya Ni Walunateng dari tapa yoga, hal yang tidak biasa ia rasakan. Didapatkan Ratna Mangali menangis, dan Nircaya Lingga telah hilang. Kemarahan mulai merasuki setiap nadi Ni Walunateng, menantunya ternyata pendusta. Seraya menatap langit, ia tahu ini adalah penistaan, ia memanggil semua sisya dan buatlah penyakit di Lembah Tulis. 

Ngeseng Waringin

Seketika wabah melanda di Lembah Tulis, masyarakat terjangkit penyakit aneh. Secara tiba-tiba sakit kemudian meninggal. Mengetahui akan hal ini, segera Mpu Baradah menuju ke Dirah. 

Burung gagak bersoak-soak, organ-organ manusia bergelantungan di sebuah carang kayu tua. Melewati kuburan, bau amis menusuk penciuman, perjalanan masih harus diteruskan. Mpu Barah menapakkan kaki di Dirah ditemani dua orang abdi. Gelap gulita, ketakutan merasuk ke suasana saat itu. Tiba-tiba nampak seorang wanita tua samar wajah, Ni Walunateng mengetahui kedatangan Mpu Baradah. 
Ni Walunateng Dirah Dan Mpu Baradah

Saling memberi hormat antara Mpu Baradah dengan Ni Walunateng, setelah sekian lama, betapa bahagia mereka bisa saling bertemu di waktu kali ini. Namun kenapa kita bertemu di malam kala ini..? 

Mpu Baradah mempertanyakan keberadaan Ni Walunateng berada di kuburan di malam seperti ini. Dalam tatanan Surya Chandra, surya (matahari) diibaratkan laki-laki dan candra (bulan) adalah perempuan. Ni Walunateng berada di kuburan hanya untuk menikmati keindahan malam saat ini, betapa alam menciptakan sesuatu yang mempesona. Bagai bulan, ini adalah waktu yang tepat untuk muncul menampakkan diri. Sangat disayangkan kalau kita tidak merasakannya. 

Dibalikkan pertanyaan, bukankah ketiadaan surya menandakan malam..? 

Bercahayanya candra bukan karena mampu mengeluarkan cahaya, namun candra hanya memantulkan cahaya surya dan ini menandakan surya selalu hadir. Sepertinya kebanggaan yang berlebihan akan membuat surya terlalu membanggakan diri, apakah salah jika cahaya candra menandakan malam memberikan rasa yang berbeda buat bumi..? 

Sangat tidak salah, namun terang hanya temaram, jangan panas. Jika panas akan membuat masyarakat menderita dan itulah yang tidak diperbolehkan. 

Ida Sasuhunan

Keberadaan rwa bhineda di dunia ini haruslah berjalan beriringan. Ni Walunateng dalam menjalankan ilmu pengeleakannya memiliki swadarma untuk mem-prelina segala yang salah. Namun yang dilakukan adalah mem-prelina semuanya. Bukan hanya yang salah, yang tanpa salahpun terkena penyakit, itulah yang salah. 

Perdebatan tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan, begitu dalam pikiran keduanya. Hingga adu kemampuan antara Mpu Baradah dengan Ni Walunateng terjadi. Sebagai sasaran adalah pohon beringin. Ni Walunateng menghanguskan pohon beringin dan Mpu Baradah menghidupkan seperti sedia kala. Sekarang, mpu baradah yang menghanguskan pohon beringin, namun apa daya ketika Ni Walunateng mencoba untuk menghidupkan pohon beringin, nircaya lingga telah dicuri, ia tak sanggup untuk menghidupkan kembali pohon beringin. 

Merasa tak sanggup, Ni Walunateng menantang Mpu Baradah untuk adu kesaktian secara sesungguhnya. Sebagai mpu yang menjalankan darma kesucian, bukan saatnya lagi untuk melakukan "siat peteng", maka diutuslah Patih Taskara Maguna untuk menghadapai Ni Walunateng Dirah. 

*Tengs to - Keluarga Besar Pura Dalem Taman Pohmanis, Desa Penatih Dangin Puri

Katundung Larung

Buah Pikiran






Ni Walunateng Dirah nampak begitu gembira, bercengkrama bersama dua abdi setianya. Ia bercerita tentang bagaimana manusia bersikap dalam kehidupan ini. Bahwa, di dunia ini ada dunia dengan dimensi lain. Bhur, Bwah, Swah, itulah 3 dunia yang disebut dengan Tri Loka Bhuana. Bhur Loka adalah alam semesta yang manusia tempati ini, Bwah Loka adalah alam para dewa dan Swah Loka adalah alam Ida Sanghyang Widhi Wasa. Selain itu, di dalam miniaturnya, Tri Loka Bhuana juga ada dalam diri manusia. Kaki dipersonifikasikan sebagi Bhur, badan tangan kita adalah Bwah dan kepala kita ibarat Swah. 

Ratna Mangali, Kebahagiaan Seorang Ibu

Demikian Ni Walunateng Dirah bercerita. Sesaat ia tersenyum, memikirkan putri kesayangan, Ratna Mangali. Sebuah keinginan yang sederhana agar sang putri menjadi wanita terbaik, memberikan harum bagi keluarga dan orang-orang dikelilingnya. Ratna Mangali, perpaduan dua kata, Ratna dan Mangali. Ratna berasal dari kata “rat” yang berarti tanah /bumi / jagat /pertiwi dan “na” adalah kehidupan. Dalam kehidupan masyarakat di bali, bunga ratna sering disebut dengan bungan jagat / sekar jagat. Bunga yang memberikan kehidupan bagi segala hidup di bumi pertiwi.  Sedangkan Mangali berasal dari kata “ma” yang berarti manusia , “nga” artinya berarti dan “li” berarti liang / kebahagiaan / kegembiraan. Ratna Mangali adalah kembang hati / kebahagiaan Ni Walunateng. Rasa cinta seorang ibu kepada putrinya. 

Namun sesaat kemudian, raut wajahnya sendu, pikirannya berubah, ia teringat akan sang sekar jagat, kebahagiaan hatinya yang telah dilamar untuk menjadi pendamping hidup Prabu Erlangga di Kerajaan Kediri. Tapi hingga sekarang, belum kunjung datang, kapan pelaksanaan raja wiwaha / upacara pernikahan Ratna Mangali. Inilah yang membuat Ni Walu merasa bingung, ragu-ragu akan lamaran sang prabu. Untuk mendapatkan kepastian akan pernikahan sang putri, diutuslah Ni Larung ke Kerajaan Kediri.


Pengembalian ke Dirah


Di Kerajaan Kediri, nampak Patih Diaksa dan Patih Manguri sudah menunggu Kedatangan Prabu Erlangga. Segala yang diperlukan untuk pertemuan kali ini sudah dipersiapkan dengan baik. Selang beberapa saat, Patih Madri memberikan isyarat bahwa Prabu Erlangga akan memasuki sidang kerajaan. 



Semua yang hadir memberikan rasa hormat kepada sang junjungan. Sang prabu nampak begitu berwibawa, namun tersirat di wajahnya sebuah kegelisahan yang sangat. Sang prabu menanyakan tentang kesejahteraan rakyat, apakah ada hal yg harus dibenahi lagi untuk kemakmuran rakyat Kediri. Akhir sidang, sang prabu mengutarakan kegelisahan rakyatnya tentang Ratna Mangali. Rakyat menyangka bahwa kehadiran Ratna Mangali di Kerajaan Kediri akan memberikan dampat yang tidak baik bagi kelangsungan hidup di Kerajaan Kediri. Seorang yang lahir dari ibu dengan ilmu pengeleakan tentu akan mewariskannya ke anaknya sendiri. Hal ini tentu akan berakibat buruk. 

Namun, sang prabu telah memberikan janji kepada Ni Walunateng Dirah akan menjadikan Ratna Mangali, wanita terhormat di Kerajaan Kediri, haruslah dilaksanakan. Apa yang menjadi pembicaraan rakyat tentang dampak buruk tersebut adalah sesuatu yg belum tentu benar. Adalah sikap seorang ksatria untuk menepati sebuah janji. Demikian Patih Manguri berpendapat. 

Seketika Patih Diaksa membantah, bahwa Patih Manguri seperti bukan seorang ksatria, karena mudah gentar, tidak bakti kepada kerajaan dan rakyat. Sebagai seorang patih, harus berani membela tanah air dan rakyat. Setiap orang di Kerajaan Kediri tahu siapa Ni Walunateng Dirah dan sudah dapat dipastikan sifat-sifat orang tua akan menurun kepada anaknya. Jadi hal ini sudah begitu jelas dan tidak perlu lagi dibicarakan. 

Saling mendebat, saling beradu pendapat terjadi. Prabu Erlangga dengan berat memutuskan apa yang harus diupayakan dalam penyelesaian kegelisahan ini. Keheningan sejenak, sang prabu bangkit, mengutus Patih Madri untuk mengembalikan Ratna Mangali ke Dirah, ke ni Walunateng.


Kebenaran Itu Tidaklah Benar

 Ratna Mangali, duduk di taman istana yang megah. Menerawang pandangannya, memikirkan tentang bagaimana dirinya esok hari.. Lamunannya terhenti saat utusan sang raja datang memberi hormat. Patih Madri memberitahu tentang tugas yang ia pikul sebagai abdi di Kerajaan Kediri, mengajak Ratna Mangali kembali ke Dirah. Ratna Mangali mempertanyakan kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga harus dihukum seperti ini. Dengan penuh rasa hormat, Patih Madri menceritakan tentang sidang yang telah terjadi. Ratna Mangali mendengarkan dengan perasaan yang semakin memedih. Ia tidak menyangka akan mendapat perlakuan yang sangat nista. Ibu yang ia cintai telah dinistakan, dirinya seperti tidak mempercayai apa yg telah ia dengar. Dalam ucapannya, dia tidak membenarkan tentang apa yang telah diperdebatkan dalam persidangan itu. Dan kebenaran itu tidak lah benar…



Sakit hati, Gerubug Kediri

Ni Larung dalam pencariannya mendapatkan hasil. Ia harus membalaskan sakit hati putri dari junjungannya. Yang pertama, ia harus membalas Patih Madri. Ni Larung yang menguasai ilmu Pudak Sategal berhasil memikat Patih Madri. Aroma kecantikannya telah memperdaya Patih Madri. Syarat jika Patih Madri ingin merasakan nikmat keharuman Ni Larung, maka ia harus menyediakan kepala Prabu Erlangga sebagai alas kaki Ni Larung. Sontak Patih Madri sadar akan tipu daya Ni Larung. Adu kesaktian antara Ni Larung dan Patih Madri terjadi. namun. terlalu kuat Ni Larung bagi Patih Madri, hingga Patih Madri harus mengakui kemampuan Ni Larung.





Di Dirah, Ni Walunateng Dirah mengerahkan para sisyanya untuk menghancurkan Kerajaan Kediri. Sakit hati nya sudah tidak sanggup ia tahankan lagi. Bunga kebahagiannya telah dinistakan tanpa kebenaran. Baginya, Kehancuran kerajaan Kediri adalah obat sakit hati yang sepadan. Bersama para sisya, Ni Walunateng Dirah menuju ke setra, memuja Ibu Dhurga, memohon anugrah agar dapat meleburkan kerajaan Kediri.






Segera saja, rakyat Kediri yang tenteram tiba-tiba terjadi kegaduhan. Banyak yang tiba-tiba sakit dan seketika meninggal. Tidak ada kejelasan akan penyakit yang melanda masyarakat kediri. Hingga pada akhirnya berita tentang wabah penyakit aneh ini sampai ke kerajaan. 

Untuk menanggulangi permasalahan ini, sang prabu mengutus Patih Maling Saji untuk menghilangkan wabah yang melanda kerajaan Kediri. Inilah harapan terakhir karena Patih Diaksa dan Patih Manguri sudah tidak mampu menandingi kemampuan sisya Ni Walunateng. Patih Maling Saji, patih andalan kerajaan Kediri sadar bahwa yang akan ia hadapi bukanlah sebuah wabah atau penyakit biasa namun sebuah wabah yang diakibatkan oleh kemarahan seorang ibu, wabah ilmu pengeleakan, akibat perlakuan yang tidak sepatutnya. Dalam angan-angan Patih Maling Saji akan kejadian yang lalu.


Patih Maling Saji bersama dua orang abdinya menuju ke Dirah. Ia percaya sikap ksatria adalah membela Negara, membela tanah air. Dan itu akan membawa sebuah kemenangan. Seraya memohon anugrah Ibu Durga agar bisa melenyapkan bawah dan mengalahkan Ni Walunateng Dirah.

Tengs to
Keluarga Besar Pesimpangan Dalem Penataran Ped Banjar Anyarsari Kangin, Desa Pakraman Nusasari, Kec. Melaya,  Negara




Ki Bajra Sakti Samprangan

Buah Pikiran
Ida Sasuhunan
Tersebutlah Ida Dayu Ngurah yang berasal dari daerah Sanur. Ia bersama para sisyanya telah lama ada di Desa Taro dengan tujuan untuk mencari keberadaan pusakanya yang telah lama hilang, Ki Bajra Sakti Samprangan.

Diceritakan setiap sandyakala, suara bajra selalu menggema di angkasa, menyelimuti Desa Taro. Ida Dayu Ngurah mendengarkan suara bajra ini bersama para sisyanya. Menerawang mencari dari arah manakah sumber suara bajra ini? Ida Dayu Ngurah menerka, suara ini datang dari arah selatan-barat.

Ida Dayu Ngurah beserta Para Sisya
Saking penasaran, Ida Dayu Ngurah mengutus sisyanya yang bernama Ni Luh Siki dan Ni Luh Soli untuk mencari-cari keberadaan pusaka tersebut. Namun dalam pencarian ini, Ni Luh Soli dan Ni Luh Siki disuruh untuk menyamar, menyembunyikan siapa jati diri mereka. Hal ini bertujuan agar dapat pula diketahui siapakah yang telah berani mengambil bajra pusaka ini.




Cokorda Gede Karang
 Di Puri Tapesan, Ida Cokorda Gede Karang memerintah dengan cinta kasih kepada rakyat, bakti akan sang pencipta dan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan alam sekitar. Beliau begitu bahagia, menyaksikan rakyatnya hidup tenteram berkelimpahan. Apalagi telah kembalinya sang pusaka, Ki Bajra Sakti Samprangan. Pusaka yang dulu hilang karena diambil oleh Brahmana Boda Pejeng Aji, kini telah berhasil diambil kembali oleh Ida Cokorda Gede Karang. Untuk memastikan kebahagiaan rakyatnya, Ida Cokorda sering turun ke bawah, memastikan semuanya sudah berjalan dengan baik. Salah satu yang menjadi kebiasaannya adalah dengan turun langsung ke pasar, menyaksikan perputaran perekonomian sekaligus menyerap secara langsung usul atau saran dari rakyatnya.


Sisya Ida Dayu Ngurah, Ni Luh Soli dan Ni Luh Siki yang dalam penyamaran, menyusup ke dalam pasar, untuk mencari tahu keberadaan dari bajra pusaka ini, secara tidak langsung bertemu dengan abdi dari Puri Tapesan. Dari sinilah diketahui bahwa suara bajra ini berasal dari dalam Puri Tapesan.

Mengetahui akan hal ini, Ida Dayu Ngurah menjadi murka dan mengutus para sisyanya untuk membuat wabah di tanah Puri Tapesan. Tak berselang lama, banyak rakyat Tapesan menjadi korban wabah penyakit yang disebar oleh Ida Dayu Ngurah beserta para sisyanya.

Sisya Ida Dayu Ngurah
Watangan


Berita akan wabah ini, akhirnya sampai ke Ida Cokorda Gede Karang. Tanpa menunggu lebih lama, mengingat semakin banyak rakyatnya yang telah meninggal, Ida Cokorda Gede Karang segera menugaskan Patih Megada untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Patih Megada
Patih Megada segera melakukan penyelidikan tentang permasalahan yang melanda rakyat Puri Tapesan. Hiingga diketahui, wabah gering yang melanda adalah perbuatan dari Ida Dayu Ngurah dan para sisyanya. Sebagai tabeng dada, patih Puri Tapesan, Patih Megada menemui Ida Dayu Ngurah untuk menyelesaikan permasalahan yang telah terjadi.

* tengs to -krama adat banjar pelasa kuta

Sendratari Ida Dalem Sidakarya

Buah Pikiran
Tersebutlah seorang Brahmana Wulaka keturunan Sakya dari Keling atau disebut dengan Brahmana Keling. Brahmana Keling ini merupakan putra dari Dang Hyang Kayu Manis yang merupakan nabe dari Ida Dalem Waturenggong yang menjadi raja di Tanah Bali yang berkedudukan di Gelgel, Klungkung.

Suatu waktu, sedang asik menikmati panorama Selat Bali, datanglah ayah beliau, Dang Hyang Kayu Manis, yang baru saja datang dari Gelgel Bali, dimana Kerajaan/Keraton Gelgel, Klungkung diperintah oleh Ida Dalem Waturenggong. Dang Hyang Kayu Manis memberitau Brahmana Keling, apabila berkeinginan ke Tanah Bali, jangan lupa untuk berkunjung ke Kerajaan Gelgel karena ia memiliki seorang saudara yang menjadi raja di Kerajaan Gelgel, yang bernama Ida Dalem Waturenggong. Mendengar hal itu, rasa bahagia menyelimuti perasaan Brahmana Keling, selain telah mendapat restu dari orang tua, juga akan bertemu dengan saudaranya. Brahmana Keling segera melanjutkan perjalanan menuju ke Bali.

Ida Dalem Sidakarya


Tak diceritakan perjalanan dari Jawa ke Bali, hingga sampailah beliau di Kerajaan Gelgel, Klungkung. Namun Kerajaan/Keraton Gelgel sangat sepi. Setelah bertanya, pahamlah Brahmana Keling bahwa Ida Dalem Waturenggong yang ditemani Dang Hyang Nirartha akan melaksanakan upacara Eka Dasa Ludra di Pura Besakih . Segera Brahmana Keling melanjutkan perjalanan menuju Pura Besakih untuk bertemu dengan saudaranya, Ida Dalem Waturenggong.


Ida Dalem Waturenggong berunding dg Dang Hyang Nirartha


Perjalanan yang jauh tentu saja membuat Brahmana Keling begitu kelelahan, sehingga beliau beristirahat sejenak di salah satu Parahiyangan yang ada di Pura Besakih. Jika dilihat dari penampilan Brahman Keling yang layaknya seroang peminta-minta, lusuh penuh dengan kotoran. Melihat hal ini, tentu saja Ida Dalem Waturenggong menjadi marah. Upacara suci Eka Dasa Ludra yang akan berlangsung akan menjadi tidak sempurna akibat ulah seorang peminta-minta dengan pakaian lusuh seperti ini. 

Penjelasan apapun yang diberikan oleh Brahmana Keling tentang keberadaan/siapa sejatinya dirinya, tetap saja tidak diterima oleh Ida Dalem Waturenggong. Ternyata, setelah bertemu dengan Ida Dalem Waturenggong, bukan penyambutan atau pelukan hangat dari saudra yang diterima, namun sebuah penolakan yang berujung pada pengusiran dirinya. 

Kepedihan yang sangat dirasakan oleh Brahmana Keling, niatnya yang tulus ternyata tidak tertambat. Sebelum meninggalkan pura besakih, Brahmana Keling sempat mengutuk agar upacara yang diselenggarakan oleh Ida Dalem Waturenggong tidak berhasil dan tertimpa bencana.

Brahmana Keling Setelah Diusir


Akibat kutukan Brahmana Keling, pelaksanaan upacara Eka Dasa Ludra menjadi terganggu. Berkenaan dengan hal ini, Dang Hyang Nirartha memberitahu Ida Dalem Waturenggong tentang adanya kejadian ini. Beliau berusaha untuk menetralisir keadaan dengan cara menghaturkan upakara memohon keselamatan, tapi permohonan ini tidak berhasil. 


Upacara Yadnya diganggu oleh Para Butha


Dengan kegagalan ini , Dang Hyang Nirartha kembali mengadakan pertemuan dan kemudian teringat dengan perlakuan yang diterima oleh seorang brahmana yang mengaku saudara Ida Dalem Waturenggong, beberapa waktu kemarin. Dang Hyang Nirartha mengingatkan Ida Dalem Waturenggong untuk mencari Brahmana Keling tersebut. Segeralah Ida Dalem Waturenggong mengutus patihnya untuk mencari keberadaan Brahmana Keling tersebut. 

Sang Brahmana Keling akhirnya dapat dijumpai di Bandana Negara, sebuah desa yang pada era sekarang disebut Desa Sidakarya, dimana Pura Mutering Jagat Sidakarya berada. 

Setibanya Brahmana Keling di Pura Besakih, Ida Dalem Waturenggong meminta maaf dan memohon belas kasihan agar karya Eka Dasa Ludra yang dilaksanakan dapat berlangsung dengan baik serta mendoakan agar pulau bali tidak lagi terjadi hama dan wabahpenyakit, hama dan bencana. Begitu pula dengan berbagai karya atau upacara agama yang berlangsung di Bali dapat berlangsung dengan baik pula. Permohonan Ida Dalem Waturenggong ini disertai dengan janji secara sungguh-sungguh menerima Brahmana Keling sebagai saudara.

Brahmana Keling begitu bahagia melihat ketulusan hati saudaranya, Ida Dalem Waturenggong. Beliau tidak bersedih atau marah akan perlakuan yang ia dapatkan, namun hanya memberikan pelajaran kepada Ida Dalem Waturenggong bahwa sebagai sang nata raja, Ida Dalem Waturenggong harus seperti Sang Hyang Surya, tidak pillih kasih dalam memberikan sinar. Sang raja harus berbelas kasih kepada semua rakyatnya, tidak boleh melihat rakyat dari pakaian apa yg dimiliki atau seberapa besar kekayaannya, namun rasa pandang dan rasa keadilan yang sama bagi setiap rakyat. Brahmana Keling lantas minta kesaksian yang membenarkan segala yang diucapkan misalnya ayam hitam dikatakan putih maka ayam hitam akan benar-benar menjadi ayam putih, pohon kelapa yang tadinya tidak berbuah dikatakan berbuah maka benar-benar berbuah. Hama dan wabah pun seketika lenyap sehingga upacara atau karya yang dilaksanakan itu dapat dilanjutkan dan berjalan dengan sidakarya atau sukses.

Brahmana Keling bersama Sang Ayahnda


Setelah semua keadaan dapat dikembalikan sesuai dengan yang diharapkan, Ida Dalem Waturenggong mengakui Brahmana Keling sebagai saudaranya dan diberi gelar Brahmana Sidakarya atau Ida Dalem Sidakarya pada tahun 1615 Caka. Sejak saat itu Ida Dalem Waturenggong memerintahkan seluruh rakyat Bali, untuk suksesnya karya atau upacara yang akan dilaksanakan, agar memohon keselamatan karya di Pura Dalem Sidakarya tempat Brahmana Sidakarya. Disamping itu, pada setiap upacara keagamaan agar diadakan pertunjukan Topeng Sidakarya –menghaturkan Wali Sidakarya- sebagai pelengkap upcara penting umat Hindu.

*Sendratari ”Dalem Sidakarya”  -Sekaa Taruna-Taruni Bhuana Kusuma, Banjar Peken, Bualu, Nusa Dua